Kaum Setanis, yakni para pengikut ajaran setanisme, sudah ada dan melaksanakan kegiatan keji mereka di setiap tahap sejarah dan dalam setiap peradaban, dari Mesir kuno sampai Yunani kuno, serta sejak Abad Pertengahan sampai hari ini. Di antara abad ke-14 dan ke-16, para tukang sihir dan orang yang menolak agama sama-sama memuja setan. Setelah tahun 1880-an, di Prancis, Inggris, Jerman, dan sekaligus di berbagai negara lain di Eropa dan Amerika, Setanisme diatur dalam perkumpulan dan tersebar di kalangan orang yang mencari keyakinan dan agama lain.
Penyembahan setan terus berlanjut sejak abad ke-19, mula-mula sebagai Setanisme tradisional, lalu dalam aliran sesat yang lebih kecil yang merupakan pecahannya. Upacara kejam yang dilakukan oleh tukang sihir dan orang-orang tak bertuhan, pengorbanan anak dan orang dewasa ke pada setan, perayaan Misa Hitam dan upacara Setanisme tradisional lainnya telah diwariskan diam-diam secara turun temurun.
Lambang Setanisme tradisional yang terpenting adalah dewa Romawi kuno Baphomet. Pada waktu itu, Baphomet menjadi lambang bagi orang yang memuja setan. Para ahli sejarah yang menelusuri asal-usul sosok berkepala kambing ini telah menemukan beberapa petunjuk penting tentang kegiatan Setanis. Lambang Setanis terpenting kedua adalah pentagram, yaitu bintang bersegi lima di dalam lingkaran. Yang menarik, ada dua perkumpulan rahasia lainnya di samping para Setanis yang menggunakan Baphomet dan pentagram sebagai lambang. Yang pertama adalah perkumpulan Kesatria Biara Yerusalem (Knight Templars), yaitu perkumpulan yang dituduh oleh Gereja Katolik sebagai penyembah setan, dan dibubarkan pada tahun 1311. Perkumpulan lainnya adalah perkumpulan Mason yang telah bertahun-tahun lamanya menimbulkan rasa penasaran karena kerahasi aan dan upacaranya yang aneh.
Banyak ahli sejarah, yang telah menyelidiki masalah itu, percaya bahwa terdapat hubungan antara Kesatria Biara Yerusalem dengan perkumpulan Mason. Menurut mereka, kedua kelompok itu saling melanjutkan satu sama lain. Sesudah Kesatria Biara Yerusalem dilarang oleh Gereja, perkumpulan itu melanjutkan keberadaannya secara rahasia dan akhirnya berubah menjadi paham Mason. Yang pasti tentang Freemasonry adalah, perkumpulan ini bersifat amat rahasia, punya susunan organisasi, dengan anggota di seluruh pelosok dunia. Uraian yang diberikan para ahli seperti Leo Taxil, yang pernah menjadi seorang Mason, namun telah keluar dari perkumpulan itu, mengatakan bahwa para Mason amat menghormati Baphomet dan melangsungkan upacara yang menyerupai tata-cara penyembahan setan. Kenyataan lain yang menimbulkan kecurigaan adalah bahwa banyak pengikut Setanisme yang kemudian menjadi anggota organisasi Masonis.
Kini, Setanisme telah meninggalkan upacara dan markasnya yang rahasia itu, untuk keluar ke jalan-jalan. Para Setanis bergiat di setiap negara untuk menyebarkan ajarannya dengan gigih dalam buku-buku, terbitan berkala, dan terutama di Internet dalam usaha mereka menarik anggota. Tak peduli di negara mana pun mereka berada, para Setanis menampilkan citra yang sama. Cara berpakaian, tata cara penyembahan, kesamaan surat yang mereka tinggalkan sebelum melakukan bunuh diri dan ciri lainnya menunjukkan bahwa Setanisme bukanlah gerakan biasa yang dipenuhi para penganggur, melainkan sebuah organisasi yang sengaja bersandar pada landasan pemikiran.
Setanisme dan Materialisme
Suatu ciri kaum Setanis masa kini adalah, mereka semua atHeis (tidak mengakui Tuhan). Mereka juga sekaligus kaum materialis, artinya, mereka hanya percaya kepada keberadaan benda belaka. Mereka mengingkari adanya Tuhan dan semua makhluk gaib. Oleh karena itu, kaum Setanis tidak percaya kepada setan sebagai makhluk yang nyata. Meskipun disebut sebagai penyembah setan, mereka tidak mengakui adanya setan. Bagi kaum Setanis, setan hanyalah lambang yang menyatakan permusuhan mereka terhadap agama dan kekerasan hati mereka. Dalam sebuah tulisan yang berjudul "Pengantar Setanisme" yang diterbitkan Gereja Setan, dinyatakan bahwa para Setanis sebenarnya adalah ateis:
Setanisme adalah sebuah agama yang tak mengenal Tuhan dan menganut paham tidak ada yang perlu ditakuti selain akibat tindakan kita. Kaum Setanis tidak percaya adanya Allah, malaikat, surga atau neraka, iblis, setan, ruh jahat, ruh baik, peri, atau makhluk gaib yang jahat. ... Setanisme bersifat ateis ...Otodeis: kami menyembah diri kami sendiri. ...Setanisme adalah materialis ... Setanisme adalah lawan agama. (Vexen Crabtree, "A Description of Satanisme")
Singkatnya, ini adalah hasil filsafat kebendaan dan tak mengenal Tuhan yang telah tersebar sejak abad ke-19. Seperti filsafat ini, Setanisme menyandarkan diri pada teori yang dianggap ilmiah: Teori Evolusi Darwin. (harunyahya) KKSK 4 ever...
Musik dan Film Satanisme.
Satanisme muncul dalam banyak hal salah satunya adalah film dan musik. Banyak film yang menceritakan dengan terbuka idiom satanisme serta kisah kuasa gelap (dark forces). Film populer seperti : Friday The 13th, The Crow, Devils Advocate, Interview With The Vampire, bahkan serial The X-Files mengandung alur cerita dimana setan, satanisme atau black magic menjadi bagian penting dari film. Konon ta hun 1968, Anton Szandor La Vey pernah menjadi penasehat teknis sekaligus pemeran film Rosemarys Baby, film Omen 1976 disebut telah mempopulerkan satanisme.
Dalam musik ada banyak sekali contoh musik yang berisi satanisme, contoh :
* Lagu dari Ozzy Osbourne "Anggur baik tapi Wiski lebih cepat, bunuh dirilah satu-satunya jalan keluar"
* Lagu dari David Bowie (majalah Rolling Stone) mengatakan Rock akan selalu menjadi musik setan
* Lagu dari Stairway to Heaven jika di putar terbalik akan memunculkan syair pemujaan setan.
* Lagu dari Metallica dalam The Prince melantunkan Bida.dari dari bawah, Aku ingin menjual jiwaku. Setan ambil jiwaku.
* Pink Floyd menulis lagu Lucifer Sam dengan lirik : Lucifer Sam selalu duduk di sisimu..selalu dekat denganmu.
* Thn 1992, Red Hot Chilli Peppers saat penerimaan anugreah MTV Awa rds berucap. Pertama-tama kami ingin berterima kasih pada Setan.
* Marilyin Manson, salah satu umat GS pada majalah Spin edisi Agustus 1996. Saya berharap dikenang sebagai sosok yang mengakhiri sejarah Kekristenan, Manson tak ragu merobek Injil dan meneriakkan penghinaan terhadap Yesus Kristus.
Di Indonesia : - Group Black Metal (4 tahunlalu) Sebelum naik panggung, mereka menyembelih marmut hidup dan meminum darahnya, kadang mereka membawa salib terbalik ke atas panggung.
Lihat pula Musik Underground
Satanisme atau Kebodohan?
Benarkah mereka menggotong aliran musik pemuja setan? Kehidupan sehari-hari mereka ternyata tidak seseram yang dibayangkan. Namun, ada hal-hal yang kontradiktif.
Musik underground tak pelak telah memberikan nuansa tersendiri dalam dunia musik Indonesia sepanjang tahun 1997. Kendatipun, sesuai dengan sebutannya, aliran ini bergerak 'di bawah tanah' dan cenderung beredar 'hanya untuk kalangan sendiri', pengaruhnya diperkirakan akan kian meluas, khususnya di kalangan kaum muda.
Meluasnya pengaruh ini sebagian didukung oleh kian gencarnya pentas musik underground. Salah satu pemrakarsanya, Dewo, seorang entertainer dan MC kondang, mengungkapkan, "Saya melihat, anak-anak underground ini akan dianaktirikan oleh beberapa kalangan, sehingga belum pernah digelar secara terbuka. Lalu, saya punya ide, bagaimana kalau dibuat pagelaran, melihat musik ini juga bisa berkembang seperti grup-grup mayor label."
Pentas underground telah digelar di sejumlah kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Purwokerto, Malang, Surabaya dan Denpasar.
Awal tahun 1998, 13 grup musik underground b ergabung meluncurkan album rekaman (Kedaulatan Rakyat, 11/1). Album ini akan diedarkan kepada masyarakat luas.
Satanisme?
Kini, Setanisme telah meninggalkan upacara dan markasnya yang rahasia itu, untuk keluar ke jalan-jalan. Para Setanis bergiat di setiap negara untuk menyebarkan ajarannya dengan gigih dalam buku-buku, terbitan berkala, dan terutama di Internet dalam usaha mereka menarik anggota. Tak peduli di negara mana pun mereka berada, para Setanis menampilkan citra yang sama. Cara berpakaian, tata cara penyembahan, kesamaan surat yang mereka tinggalkan sebelum melakukan bunuh diri dan ciri lainnya menunjukkan bahwa Setanisme bukanlah gerakan biasa yang dipenuhi para penganggur, melainkan sebuah organisasi yang sengaja bersandar pada landasan pemikiran.
Setanisme dan Materialisme
Suatu ciri kaum Setanis masa kini adalah, mereka semua atHeis (tidak mengakui Tuhan). Mereka juga sekaligus kaum materialis, artinya, mereka hanya percaya kepada keberadaan benda belaka. Mereka mengingkari adanya Tuhan dan semua makhluk gaib. Oleh karena itu, kaum Setanis tidak percaya kepada setan sebagai makhluk yang nyata. Meskipun disebut sebagai penyembah setan, mereka tidak mengakui adanya setan. Bagi kaum Setanis, setan hanyalah lambang yang menyatakan permusuhan mereka terhadap agama dan kekerasan hati mereka. Dalam sebuah tulisan yang berjudul "Pengantar Setanisme" yang diterbitkan Gereja Setan, dinyatakan bahwa para Setanis sebenarnya adalah ateis:
Setanisme adalah sebuah agama yang tak mengenal Tuhan dan menganut paham tidak ada yang perlu ditakuti selain akibat tindakan kita. Kaum Setanis tidak percaya adanya Allah, malaikat, surga atau neraka, iblis, setan, ruh jahat, ruh baik, peri, atau makhluk gaib yang jahat. ... Setanisme bersifat ateis ...Otodeis: kami menyembah diri kami sendiri. ...Setanisme adalah materialis ... Setanisme adalah lawan agama. (Vexen Crabtree, "A Description of Satanisme")
Singkatnya, ini adalah hasil filsafat kebendaan dan tak mengenal Tuhan yang telah tersebar sejak abad ke-19. Seperti filsafat ini, Setanisme menyandarkan diri pada teori yang dianggap ilmiah: Teori Evolusi Darwin. (harunyahya) KKSK 4 ever...
Musik dan Film Satanisme.
Satanisme muncul dalam banyak hal salah satunya adalah film dan musik. Banyak film yang menceritakan dengan terbuka idiom satanisme serta kisah kuasa gelap (dark forces). Film populer seperti : Friday The 13th, The Crow, Devils Advocate, Interview With The Vampire, bahkan serial The X-Files mengandung alur cerita dimana setan, satanisme atau black magic menjadi bagian penting dari film. Konon ta hun 1968, Anton Szandor La Vey pernah menjadi penasehat teknis sekaligus pemeran film Rosemarys Baby, film Omen 1976 disebut telah mempopulerkan satanisme.
Dalam musik ada banyak sekali contoh musik yang berisi satanisme, contoh :
* Lagu dari Ozzy Osbourne "Anggur baik tapi Wiski lebih cepat, bunuh dirilah satu-satunya jalan keluar"
* Lagu dari David Bowie (majalah Rolling Stone) mengatakan Rock akan selalu menjadi musik setan
* Lagu dari Stairway to Heaven jika di putar terbalik akan memunculkan syair pemujaan setan.
* Lagu dari Metallica dalam The Prince melantunkan Bida.dari dari bawah, Aku ingin menjual jiwaku. Setan ambil jiwaku.
* Pink Floyd menulis lagu Lucifer Sam dengan lirik : Lucifer Sam selalu duduk di sisimu..selalu dekat denganmu.
* Thn 1992, Red Hot Chilli Peppers saat penerimaan anugreah MTV Awa rds berucap. Pertama-tama kami ingin berterima kasih pada Setan.
* Marilyin Manson, salah satu umat GS pada majalah Spin edisi Agustus 1996. Saya berharap dikenang sebagai sosok yang mengakhiri sejarah Kekristenan, Manson tak ragu merobek Injil dan meneriakkan penghinaan terhadap Yesus Kristus.
Di Indonesia : - Group Black Metal (4 tahunlalu) Sebelum naik panggung, mereka menyembelih marmut hidup dan meminum darahnya, kadang mereka membawa salib terbalik ke atas panggung.
Lihat pula Musik Underground
Satanisme atau Kebodohan?
Benarkah mereka menggotong aliran musik pemuja setan? Kehidupan sehari-hari mereka ternyata tidak seseram yang dibayangkan. Namun, ada hal-hal yang kontradiktif.
Musik underground tak pelak telah memberikan nuansa tersendiri dalam dunia musik Indonesia sepanjang tahun 1997. Kendatipun, sesuai dengan sebutannya, aliran ini bergerak 'di bawah tanah' dan cenderung beredar 'hanya untuk kalangan sendiri', pengaruhnya diperkirakan akan kian meluas, khususnya di kalangan kaum muda.
Meluasnya pengaruh ini sebagian didukung oleh kian gencarnya pentas musik underground. Salah satu pemrakarsanya, Dewo, seorang entertainer dan MC kondang, mengungkapkan, "Saya melihat, anak-anak underground ini akan dianaktirikan oleh beberapa kalangan, sehingga belum pernah digelar secara terbuka. Lalu, saya punya ide, bagaimana kalau dibuat pagelaran, melihat musik ini juga bisa berkembang seperti grup-grup mayor label."
Pentas underground telah digelar di sejumlah kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Purwokerto, Malang, Surabaya dan Denpasar.
Awal tahun 1998, 13 grup musik underground b ergabung meluncurkan album rekaman (Kedaulatan Rakyat, 11/1). Album ini akan diedarkan kepada masyarakat luas.
Satanisme?
Sejauh ini, pemunculan aliran musik ini cukup mengundang kontroversi dan perdebatan. Tabloid Adil sempat menurunkan laporan utama mengenai aliran ini, bertitel "Bangkitnya Kelompok Pemuja Setan" (16/4/1997). Beberapa orang tua mengaku cemas mengamati anak mereka suka menyebut-nyebut Lucifer dan memasang atribut-atribut underground di kamarnya.
Personil dan fans aliran musik ini dapat dikenal melalui kostum kebesaran hitam-hitam (belakangan bermunculan pula corak warna lain) dengan hiasan nama dan lambang-lambang grup metal. Khusus para penggemar black metal, mereka suka mengenakan masker bermotifkan wajah setan.
Sangkakala berkesempatan melihat aksi mereka dari dekat ketika menyaksikan pentas "Benteng Bawah Tanah" di Yogyakarta, Minggu (7/12). Mereka berpolah mulai dari memutar-mutar kepala (head bang), melompat dari panggung ke tengah kerumunan penonton, saling membenturkan badan, menjerit histeris, membakar dupa dan menaburkan bunga hingga menggotong tengkorak binatang. Seorang penonton bahkan sempat meloncat ke atas panggung untuk mempertunjukkan aksi menggigit ular.
Selain itu, juga disajikan kostum-kostum khas yang antara lain menampilkan gambar Yesus disalib dengan isi perut terburai keluar, setan kembar dipaku pada kayu salib, jubah kepala kambing dan pentagram, hingga gambar gadis telanjang dada dengan tubuh berdarah bekas tikaman pisau atau gigitan. Sejumlah penonton menggoreskan gambar salib terbalik di dahinya.
Benarkah mereka pemuja setan? Sulit memang untuk melacaknya. Penggemar aliran ini jelas-jelas menolak anggapan tersebut.
Ketika menjumpai mereka di luar panggung, Sangkakala melihat kehidupan mereka tidak seseram yang dibayangkan. Solidaritas dan jaringan komunikasi di antara sesama undergrounder (sebutan bagi penggandrung aliran ini) justru terlihat kuat. Tak jarang mereka melakukan koordinasi antarkota, gotong-royong dan urunan untuk membayar pentas, mengingat masih langka pihak sponsor yang bersedia menyuntikkan dana.
Aliran ini muncul lebih sebagai protes terhadap aliran mainstream atau grup-grup mayor label. Mereka menganggap grup-grup itu menarik keuntungan komersial dengan bermain musik secara gampangan.
Grup-grup underground di Barat memang ada yang terang-terangan mengaku sebagai pemuja setan. " Tapi kalau di Indonesia, terlahir karena ingin berekspresi," kata Eko dari Mortal Scream.
Mereka juga menyadari keberadaannya di tengah budaya Timur, "Jadi kita cenderung mengambil aksi panggungnya saja, sekadar sensasi," tutur Eko lebih lanjut.
Penontonlah, konon, yang justru tidak tahu diri. "Penonton yang cuma ikut-ikutan, yang disebut abal-abal itu, yang sering keterlaluan. Nggak 'ngerti apa-apa sudah 'ngaku satanis," jelas Eko.
Dewo ikut menambahkan, undergrounders yang dikenalnya "kebanyakan orang-orangnya humanis sekali dan peka terhadap sekelilingnya".
Kepekaan inilah yang selanjutnya dituangkan melalui lirik-lirik lagu mereka, yang rata-rata bercerita tentang kebencian, pemberontakan, kematian dan bahkan kekuasaan setan di dunia.
"Musisi brutal death metal bi asanya menggotong tema-tema kematian," kata Pandu, vokalis Ruction.
"Ruction sendiri banyak mengambil tema-tema sosial seperti kemunafikan serta kesadisan manusia. Misalnya, tentang pembunuhan: kita menculik orang, lalu menyiksanya untuk kepuasan diri sendiri." Pandu mengaku mengambil kisah nyata dari koran, seperti kasus ibu yang membunuh dan memotong-motong anaknya, dan dari buku-buku perang.
Gendon, vokalis dan penulis lirik Mortal Scream, mengungkapkan hal senada. "Biasanya kita mengambil masalah kemanusiaan. Maksudnya, sisi buruk manusia itu sendiri, seperti 'nggak punya moral, pemerkosa, penghujat," ujarnya.
Kekuatan Musik
Bila dicermati, ada hal-hal yang kontradiktif dalam pernyataan para undergrounders tadi.
Pernyataan tentang aksi panggung tadi, mi salnya. Mungkinkah kita hanya mengambil aksi panggung suatu grup musik dengan mengesampingkan nilai-nilai yang ditawarkannya?
Musikolog Inggris, David Tame, dalam buku The Secret Power of Music menulis, "Moralitas sang musisi sangat menentukan... musik pasti selalu memiliki efek moral. Entah secara terang-terangan atau secara tidak kentara dikomunikasikan dari alam bawah sadar, melalui penampilannya seorang musisi selalu mengekspresikan keharmonisan atau ketidakkeharmonisan psikologis yang terjadi di dalam batin mereka."
Di bagian lain David Tame menulis, "Adapun yang paling menentukan sifat karya musik apa pun adalah keadaan mental dan emosional komposer atau musisinya. Esensi keadaan mental dan emosional itulah yang masuk ke dalam diri kita dengan kemampuan untuk membentuk dan mengubah kesadaran kita menjadi serupa dengan keadaan musisi tersebut." Melalui musik, nilai-nilai yang dianut sang musisi pun terserap ke dalam diri penyimaknya.
Jimmi Hendrix, idola musik rock akhir tahun 1960-an, menuturkan, "Musik pada hakikatnya bersifat rohani. Anda dapat menghipnotis dengan musik, dan sewaktu orang mencapai titik kesadaran terlemah, Anda dapat mengkhotbahkan apa saja yang Anda inginkan ke dalam alam bawah sadar mereka."
Bisa "Bersih"
Personil dan fans aliran musik ini dapat dikenal melalui kostum kebesaran hitam-hitam (belakangan bermunculan pula corak warna lain) dengan hiasan nama dan lambang-lambang grup metal. Khusus para penggemar black metal, mereka suka mengenakan masker bermotifkan wajah setan.
Sangkakala berkesempatan melihat aksi mereka dari dekat ketika menyaksikan pentas "Benteng Bawah Tanah" di Yogyakarta, Minggu (7/12). Mereka berpolah mulai dari memutar-mutar kepala (head bang), melompat dari panggung ke tengah kerumunan penonton, saling membenturkan badan, menjerit histeris, membakar dupa dan menaburkan bunga hingga menggotong tengkorak binatang. Seorang penonton bahkan sempat meloncat ke atas panggung untuk mempertunjukkan aksi menggigit ular.
Selain itu, juga disajikan kostum-kostum khas yang antara lain menampilkan gambar Yesus disalib dengan isi perut terburai keluar, setan kembar dipaku pada kayu salib, jubah kepala kambing dan pentagram, hingga gambar gadis telanjang dada dengan tubuh berdarah bekas tikaman pisau atau gigitan. Sejumlah penonton menggoreskan gambar salib terbalik di dahinya.
Benarkah mereka pemuja setan? Sulit memang untuk melacaknya. Penggemar aliran ini jelas-jelas menolak anggapan tersebut.
Ketika menjumpai mereka di luar panggung, Sangkakala melihat kehidupan mereka tidak seseram yang dibayangkan. Solidaritas dan jaringan komunikasi di antara sesama undergrounder (sebutan bagi penggandrung aliran ini) justru terlihat kuat. Tak jarang mereka melakukan koordinasi antarkota, gotong-royong dan urunan untuk membayar pentas, mengingat masih langka pihak sponsor yang bersedia menyuntikkan dana.
Aliran ini muncul lebih sebagai protes terhadap aliran mainstream atau grup-grup mayor label. Mereka menganggap grup-grup itu menarik keuntungan komersial dengan bermain musik secara gampangan.
Grup-grup underground di Barat memang ada yang terang-terangan mengaku sebagai pemuja setan. " Tapi kalau di Indonesia, terlahir karena ingin berekspresi," kata Eko dari Mortal Scream.
Mereka juga menyadari keberadaannya di tengah budaya Timur, "Jadi kita cenderung mengambil aksi panggungnya saja, sekadar sensasi," tutur Eko lebih lanjut.
Penontonlah, konon, yang justru tidak tahu diri. "Penonton yang cuma ikut-ikutan, yang disebut abal-abal itu, yang sering keterlaluan. Nggak 'ngerti apa-apa sudah 'ngaku satanis," jelas Eko.
Dewo ikut menambahkan, undergrounders yang dikenalnya "kebanyakan orang-orangnya humanis sekali dan peka terhadap sekelilingnya".
Kepekaan inilah yang selanjutnya dituangkan melalui lirik-lirik lagu mereka, yang rata-rata bercerita tentang kebencian, pemberontakan, kematian dan bahkan kekuasaan setan di dunia.
"Musisi brutal death metal bi asanya menggotong tema-tema kematian," kata Pandu, vokalis Ruction.
"Ruction sendiri banyak mengambil tema-tema sosial seperti kemunafikan serta kesadisan manusia. Misalnya, tentang pembunuhan: kita menculik orang, lalu menyiksanya untuk kepuasan diri sendiri." Pandu mengaku mengambil kisah nyata dari koran, seperti kasus ibu yang membunuh dan memotong-motong anaknya, dan dari buku-buku perang.
Gendon, vokalis dan penulis lirik Mortal Scream, mengungkapkan hal senada. "Biasanya kita mengambil masalah kemanusiaan. Maksudnya, sisi buruk manusia itu sendiri, seperti 'nggak punya moral, pemerkosa, penghujat," ujarnya.
Kekuatan Musik
Bila dicermati, ada hal-hal yang kontradiktif dalam pernyataan para undergrounders tadi.
Pernyataan tentang aksi panggung tadi, mi salnya. Mungkinkah kita hanya mengambil aksi panggung suatu grup musik dengan mengesampingkan nilai-nilai yang ditawarkannya?
Musikolog Inggris, David Tame, dalam buku The Secret Power of Music menulis, "Moralitas sang musisi sangat menentukan... musik pasti selalu memiliki efek moral. Entah secara terang-terangan atau secara tidak kentara dikomunikasikan dari alam bawah sadar, melalui penampilannya seorang musisi selalu mengekspresikan keharmonisan atau ketidakkeharmonisan psikologis yang terjadi di dalam batin mereka."
Di bagian lain David Tame menulis, "Adapun yang paling menentukan sifat karya musik apa pun adalah keadaan mental dan emosional komposer atau musisinya. Esensi keadaan mental dan emosional itulah yang masuk ke dalam diri kita dengan kemampuan untuk membentuk dan mengubah kesadaran kita menjadi serupa dengan keadaan musisi tersebut." Melalui musik, nilai-nilai yang dianut sang musisi pun terserap ke dalam diri penyimaknya.
Jimmi Hendrix, idola musik rock akhir tahun 1960-an, menuturkan, "Musik pada hakikatnya bersifat rohani. Anda dapat menghipnotis dengan musik, dan sewaktu orang mencapai titik kesadaran terlemah, Anda dapat mengkhotbahkan apa saja yang Anda inginkan ke dalam alam bawah sadar mereka."
Bisa "Bersih"
Gambaran mereka tentang satanisme juga telihat baru menyentuh bagian permukaan.
Satanisme memang tidak selalu "seseram" yang kita bayangkan. Dengan kata lain, ritusnya tidak selalu melibatkan korban berdarah, baik dari binatang maupun manusia. Tidak pula selalu melibatkan penganiayaan seksual. Tidak. Satanisme bisa tampil "bersih".
Anton Szandor LaVey, pendiri gereja setan yang baru saja meninggal, mengungkapkan hakikat satanisme sebagai kesadaran bahwa kita adalah ilah bagi diri kita sendiri. Kita memiliki wewenang mutlak untuk menentukan dan melakukan apa yang kita sukai. Seperti dikatakan dalam Kitab Satan 4:3, "Katakanlah pada hatimu sendiri, 'Aku adalah penebus diriku sendiri'".
Dengan demikian, dalam satanisme sebenarnya orang tidak menyembah Satan (Iblis), melainkan menyembah dirinya sendiri! Meminjam kata-kata Billy Idol (musisi rock tahun 198-an), satanisme adalah "menari dengan diri sendiri."
Dari satanisme inilah bersumber gelombang individualisme, relativisme, humanisme, materialisme, hingga fatalisme.
Kontras dengan perintah utama Yesus Kristus, agar kita mengasihi Allah dan sesama, satanis me mendengungkan: "Lakukan urusanmu sendiri"' "Kebenaran itu subjektif; tidak ada standar moral yang mutlak", "Kalau kau suka, lakukan saja; terserah kamu." Beribadah pun, bila itu dilakukan menurut "kebenaran sendiri", justru merupakan saatanisme terselubung.
Yang "bersih" ini, dengan demikian, justru jauh lebih berbahaya. Kenapa? Karena jauh lebih menyesatkan, sengatnya jauh lebih mematikan. Firman Tuhan memperingatkan, agar kita waspada terhadap Iblis yang "menyamar sebagai malaikat Terang" (2 Korintus 11:4).
Meretas Mediokritas
Dalam Alkitab dikatakan, "Kalau orang bijak melihat malapetaka, bersembunyilah ia, tetapi orang yang tak berpengalaman berjalan terus, lalu kena celaka" (Amsal 22:3).
Sehubungan dengan fenomena musik underground ini, yang kemudian menjadi tanda tanya adalah, kenapa genr e musik yang menyajikan citra-citra menyeramkan (grim imajery) lirik-lirik yang menggotong tema-tema "gelap", dan jelas-jelas berlabel satanisme itu disukai dan diikuti anak-anak muda?
Bagaimana dengan dalih, bahwa hal itu bisa ditangkal dengan keyakinan iman dan norma-norma ketimuran yang kita pegang? Adi Prasetyo, misalnya, menulis di Bernas (4/5/1997), "Menengok liriknya, mungkin lebih bijaksana jika kita bisa memandangnya hanya semata-mata sebagai lirik pelengkap lagu, bukan suatu keyakinan atau ajakan. Dengan menguatkan iman, mengembangkan kedewasaan dan keluasan berpikir, tentu bisa mengimbangi pengaruh kekuatan lirik tersebut."
Kalau kita menyadari dahsyatnya kekuatan musik, dapat diajukan pertanyaaan balik: Dalih tersebut menandakan keteguhan iman, kedewasaan dan keluasan cara berpikir atau suatu sikap masa bodoh? Firman Tuhan memperingatkan, "Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia te guh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" (1 Korintus 10:12). John White, seorang psikolog Kristen, menulis, "Kalau kita merasa sanggup mengendalikan kejahatan, kita tidak akan pernah berusaha keras untuk menjauhinya."
George Orwell suatu ketika menggambarkan bagaimana seorang seniman menghadapi kejenuhan dalam kreativitas. Untuk meretas kungkungan mediokritas, ia menyisipkan hal-hal yang dianggap bobrok oleh tatanan budaya dan moral, guna meningkatkan nilai karyanya.
"Selalu sebuah ada jalan keluar: berpalinglah kepada kejahatan. Lakukanlah hal-hal yang akan mengguncangkan dan melukai orang banyak ... melemparkan seorang anak kecil dari jembatan, mencambuk seorang dokter tua - atau, paling tidak, bayangkanlah hal-hal semacam itu," tuturnya. "Di situlah engkau akan menjumpai jati dirimu."
Tampaknya fenomena inilah yang melatarbelakangi per kembangan dan penerimaan musik underground. Heru Emka dalam bukunya, Thrash Metal dan Grindcore sebagai Musik Alternatif, secara tidak langsung memaparkan adanya dua pemicu.
Secara internal, aliran ini merupakan gerakan perlawanan terhadap kemapanan budaya rock yang tumpul. Secara eksternal, mereka memberontaki proses dehumanisasi yang kian meruyak, antara lain dengan makin mencoloknya alienasi.
Alienasi ini, menurut Melvin Seeman, ditandai dengan kondisi rasa tanpa daya (powerlesness), ketiadaan makna hidup (meaningless), kehampaan norma hidup (normless), rasa terkucil (isolation), dan rasa keterpencilan diri (self-estrangement).
Satanisme memang tidak selalu "seseram" yang kita bayangkan. Dengan kata lain, ritusnya tidak selalu melibatkan korban berdarah, baik dari binatang maupun manusia. Tidak pula selalu melibatkan penganiayaan seksual. Tidak. Satanisme bisa tampil "bersih".
Anton Szandor LaVey, pendiri gereja setan yang baru saja meninggal, mengungkapkan hakikat satanisme sebagai kesadaran bahwa kita adalah ilah bagi diri kita sendiri. Kita memiliki wewenang mutlak untuk menentukan dan melakukan apa yang kita sukai. Seperti dikatakan dalam Kitab Satan 4:3, "Katakanlah pada hatimu sendiri, 'Aku adalah penebus diriku sendiri'".
Dengan demikian, dalam satanisme sebenarnya orang tidak menyembah Satan (Iblis), melainkan menyembah dirinya sendiri! Meminjam kata-kata Billy Idol (musisi rock tahun 198-an), satanisme adalah "menari dengan diri sendiri."
Dari satanisme inilah bersumber gelombang individualisme, relativisme, humanisme, materialisme, hingga fatalisme.
Kontras dengan perintah utama Yesus Kristus, agar kita mengasihi Allah dan sesama, satanis me mendengungkan: "Lakukan urusanmu sendiri"' "Kebenaran itu subjektif; tidak ada standar moral yang mutlak", "Kalau kau suka, lakukan saja; terserah kamu." Beribadah pun, bila itu dilakukan menurut "kebenaran sendiri", justru merupakan saatanisme terselubung.
Yang "bersih" ini, dengan demikian, justru jauh lebih berbahaya. Kenapa? Karena jauh lebih menyesatkan, sengatnya jauh lebih mematikan. Firman Tuhan memperingatkan, agar kita waspada terhadap Iblis yang "menyamar sebagai malaikat Terang" (2 Korintus 11:4).
Meretas Mediokritas
Dalam Alkitab dikatakan, "Kalau orang bijak melihat malapetaka, bersembunyilah ia, tetapi orang yang tak berpengalaman berjalan terus, lalu kena celaka" (Amsal 22:3).
Sehubungan dengan fenomena musik underground ini, yang kemudian menjadi tanda tanya adalah, kenapa genr e musik yang menyajikan citra-citra menyeramkan (grim imajery) lirik-lirik yang menggotong tema-tema "gelap", dan jelas-jelas berlabel satanisme itu disukai dan diikuti anak-anak muda?
Bagaimana dengan dalih, bahwa hal itu bisa ditangkal dengan keyakinan iman dan norma-norma ketimuran yang kita pegang? Adi Prasetyo, misalnya, menulis di Bernas (4/5/1997), "Menengok liriknya, mungkin lebih bijaksana jika kita bisa memandangnya hanya semata-mata sebagai lirik pelengkap lagu, bukan suatu keyakinan atau ajakan. Dengan menguatkan iman, mengembangkan kedewasaan dan keluasan berpikir, tentu bisa mengimbangi pengaruh kekuatan lirik tersebut."
Kalau kita menyadari dahsyatnya kekuatan musik, dapat diajukan pertanyaaan balik: Dalih tersebut menandakan keteguhan iman, kedewasaan dan keluasan cara berpikir atau suatu sikap masa bodoh? Firman Tuhan memperingatkan, "Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia te guh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" (1 Korintus 10:12). John White, seorang psikolog Kristen, menulis, "Kalau kita merasa sanggup mengendalikan kejahatan, kita tidak akan pernah berusaha keras untuk menjauhinya."
George Orwell suatu ketika menggambarkan bagaimana seorang seniman menghadapi kejenuhan dalam kreativitas. Untuk meretas kungkungan mediokritas, ia menyisipkan hal-hal yang dianggap bobrok oleh tatanan budaya dan moral, guna meningkatkan nilai karyanya.
"Selalu sebuah ada jalan keluar: berpalinglah kepada kejahatan. Lakukanlah hal-hal yang akan mengguncangkan dan melukai orang banyak ... melemparkan seorang anak kecil dari jembatan, mencambuk seorang dokter tua - atau, paling tidak, bayangkanlah hal-hal semacam itu," tuturnya. "Di situlah engkau akan menjumpai jati dirimu."
Tampaknya fenomena inilah yang melatarbelakangi per kembangan dan penerimaan musik underground. Heru Emka dalam bukunya, Thrash Metal dan Grindcore sebagai Musik Alternatif, secara tidak langsung memaparkan adanya dua pemicu.
Secara internal, aliran ini merupakan gerakan perlawanan terhadap kemapanan budaya rock yang tumpul. Secara eksternal, mereka memberontaki proses dehumanisasi yang kian meruyak, antara lain dengan makin mencoloknya alienasi.
Alienasi ini, menurut Melvin Seeman, ditandai dengan kondisi rasa tanpa daya (powerlesness), ketiadaan makna hidup (meaningless), kehampaan norma hidup (normless), rasa terkucil (isolation), dan rasa keterpencilan diri (self-estrangement).
Lebih lanjut Heru Emka mengungkapkan, "Bentuk-bentuk pengucapan seni modern seperti grindcore [salah satu jenis musik underground - Red.] memang dimaksudkan sebagai pengejut (shocker) bagi dinamika budaya yang mati suri."
Adapun George Orwell menyatakan, "Seni mencapai puncak kebobrokannya ketika keberadaannya dimaksudkan untuk mengguncangkan (to shock)."
Lebih Keras
Fenomena ini dapat dijumpai pada perkenalan anak-anak muda itu dengan musik underground.
"Saya senang thrash metal pas kelas 3 (SMU - Red.)," tutur Gendon. "Saya senang 'ndengerin musik dari grup-grup seperti Creator, Sepultura, Metallica, dan kemudian saya mencari yang lebih keras, misalnya Suffocation. Untuk bisa nangkep lirik-liriknya, kita mesti masuk ke situ. Kita baca teksnya, ternyata bisa! Lama-lama suka, terus kita hayati."
Pandu mengungkapkan pengalaman serupa. Berawal dari menyukai Sepultura, Creator dan Napalm Death, "Saya memilih jalur ini karena bersemangat, berbobot, dan penuh skill. Kalau saya simpulk an sendiri, brutal death metal itu seperti main jazz tapi 'ngebut! Fans kami suka musik yang kencang, aksi panggung dan kaos hitam. Soal lirik nggak selalu mereka dengar, soalnya kita seperti orang mengerang di panggung."
Adakah kegandrungan kaum muda kita kepada musik underground merupakan sinyal, bahwa budaya kita tengah bergulir ke tahap yang dimaksudkan Orwell? Apa yang terjadi sekarang ini seperti sebuah benih. Haruskah kita menunggu satu dua dasa warsa (atau bahkan lebih cepat) lagi untuk menuai buahnya, dan kemudian baru menyadari kesalahan yang telah kita buat hari ini?
Kita bisa terus "menari dengan diri sendiri", terus "... mati karena pelanggaran dan dosa-dosamu... hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu menaati penguasa kerajaan angkasa (Satan)... hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran... yang jahat" (Efesus 2:1- 3). Atau, kita bisa mengarahkan telinga kita kepada musik surga dan membiarkan Tuhan mengajarkan kepada kita sebuah tarian baru, sebuah cara baru untuk menjalani kehidupan ini.
Ikuti UNIK ASIIK di Facebook dan Twitternya disini
Adapun George Orwell menyatakan, "Seni mencapai puncak kebobrokannya ketika keberadaannya dimaksudkan untuk mengguncangkan (to shock)."
Lebih Keras
Fenomena ini dapat dijumpai pada perkenalan anak-anak muda itu dengan musik underground.
"Saya senang thrash metal pas kelas 3 (SMU - Red.)," tutur Gendon. "Saya senang 'ndengerin musik dari grup-grup seperti Creator, Sepultura, Metallica, dan kemudian saya mencari yang lebih keras, misalnya Suffocation. Untuk bisa nangkep lirik-liriknya, kita mesti masuk ke situ. Kita baca teksnya, ternyata bisa! Lama-lama suka, terus kita hayati."
Pandu mengungkapkan pengalaman serupa. Berawal dari menyukai Sepultura, Creator dan Napalm Death, "Saya memilih jalur ini karena bersemangat, berbobot, dan penuh skill. Kalau saya simpulk an sendiri, brutal death metal itu seperti main jazz tapi 'ngebut! Fans kami suka musik yang kencang, aksi panggung dan kaos hitam. Soal lirik nggak selalu mereka dengar, soalnya kita seperti orang mengerang di panggung."
Adakah kegandrungan kaum muda kita kepada musik underground merupakan sinyal, bahwa budaya kita tengah bergulir ke tahap yang dimaksudkan Orwell? Apa yang terjadi sekarang ini seperti sebuah benih. Haruskah kita menunggu satu dua dasa warsa (atau bahkan lebih cepat) lagi untuk menuai buahnya, dan kemudian baru menyadari kesalahan yang telah kita buat hari ini?
Kita bisa terus "menari dengan diri sendiri", terus "... mati karena pelanggaran dan dosa-dosamu... hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu menaati penguasa kerajaan angkasa (Satan)... hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran... yang jahat" (Efesus 2:1- 3). Atau, kita bisa mengarahkan telinga kita kepada musik surga dan membiarkan Tuhan mengajarkan kepada kita sebuah tarian baru, sebuah cara baru untuk menjalani kehidupan ini.