Senin, 26 Desember 2011

Wae Rebo, Kampung Terpencil Yang Go Internasional



Wae rebo adalah sebuah kampung tradisional di dusun terpencil. Warga sekecamatan saja masih banyak yang belum mengenal kampung itu padahal pengunjung asing sudah banyak menghabiskan waktu liburannya di kampung terudik ini. Wae rebo boleh dibilang dusun internasional yang semakin banyak digemari oleh wisatawan asing.



Letak Geografis

Wae rebo terletak di desa satar lenda, kecamatan satarmese barat, kabupaten manggarai, propinsi nusa tenggara timur. Hawanya cukup dingin, berada di ketinggian 1100 m di atas permukaan air laut. Kampung wae rebo diapit oleh gunung, hutan lebat dan berada jauh dari kampung – kampung tetangga. Kampung wae rebo dikukuhkan oleh enklave sejak masa penjajahan belanda





Penduduk

Pada awal mulanya Maro, secara turun – temurun nenek moyang orang Wae Rebo menuturkan bahwa, Maro adalah orang pertama yang tinggal dan menetap di Wae Rebo. Kampung Wae Rebo saat ini sudah memasuki generasi ke – 18. Satu generasi mencapai usia 60 tahun, sehingga usia kampung Wae Rebo saat ini ± 108 tahun. Jumlah kepala keluarga hingga tahun 2009 mencapai 88 kepala keluarga atau 1. 200 jiwa.



Ada Apa di Wae Rebo???

Adat dan budaya Manggarai menyebar di tiga kabupaten ujung Barat Pulau Flores yaitu kabupaten Manggarai Timur, Manggarai dan Manggarai Barat. Pada mulanya, rumah adat juga ditemui di setiap daerah yang berbentuk kerucut, beratapkan ijuk dan alang – alang. Namun sayangnya, kampung tradisional ini tidak diminati oleh masyarakat.





Wae Rebo adalah satu – satunya kampung adat tradisional yang masih tersisa di ketiga kabupaten Manggarai yang keasliannya masih tertata rapi oleh warga setempat. Andaikata Wae Rebo juga tidak terpelihara, selesailah sudah sejarah rumah adat Manggarai. Puji Tuhan, warga Wae Rebo masih hidup menurut adat dan budaya yang diwarisi oleh leluhur perdananya Maro.

Untuk mencapai Wae Rebo, harus melintasi kawasan hutan yang masih terawat dan belum pernah dinodai masyarakat setempat. Kicauan burung – burung turut mengiringi langkah sang pengunjung seolah – olah menyambut kedatangan mereka. Siulan burung Pacycepala yang amat merdu mampu memperlambat langkah para pengunjung karena terpesona oleh suara indah itu

Leluhur Wae Rebo mewariskan 7 buah rumah adat. Tiga buah rumah diantaranya sudah punah dimakan usia dan kini tinggal 4 buah rumah saja yang masih berdiri kokoh. Rumah – rumah yang sudah hilang itu tidak dapat dibangun kembali sebab terbentur dengan masalah financial.

Yayasan Tirto Utomo Jakarta telah memberi contoh yang sangat baik dengan menyumbangkan dana untuk membangun sebuah rumah tradisonal Wae Rebo mengganti salah satu rumah yang sudah rusak total. Pengerjaan rumah ini tetap dilaksanakan oleh warga Wae Rebo sendiri sehingga keasliannya terjamin dan melaksanakan ritual adat.





Suka Duka Menjadi WargaWae Rebo

Hidup rukun dan damai membuat warga masyarakat, betah tinggal di Wae Rebo. Tanah peninggalan leluhur yang belum pernah disentuh kehidupan modern itu sangat menjanjikan terlestarinya adat dan budaya Wae Rebo yang boleh dibilang museum adat dan budaya Manggarai.

Suka adalah sisi dari duka, dan duka adalah sisi dari suka. Menjadi orang Wae Rebo bukanlah mudah. Mengapa ? Untuk mencapai Wae Rebo hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama ± 4 jam. Jalannya berliku –liku dengan tanjakan ringan hingga berat. Makanan pokok adalah ubi talas dan jagung.

Bahan makanan seperti beras harus diimpor dari kampung tetangga. Untuk mendapat pelayanan kesehatan dan kebutuhan pendidikan bagi anak – anak, harus keluar dari Wae Rebo. Untuk menjual hasil kebun harus berjalan kaki ke pasar sejauh 15 km. Warga tidak pernah berjalan lenggang. Keluar dan masuk Wae Rebo selalu ada beban di pundak ± 15 kg, baik bagi pria maupun wanita.





Semangat Baru

Masyarakat Wae Rebo mengalami peningkatan income pada tahun – tahun terakhir ini. Hal ini sejalan dengan perkembangan pariwisata berbasis masyarakat ( ecotourism ) di Wae Rebo. Wisatawan asal Belanda menempati rangking teratas berkunjung ke Wae Rebo

Hasil kerajinan tangan warga, hasil kopi, vanili dan kulit kayu manis laris sebagai barang cendera mata yang dibawa pulang oleh wisatawan denga harga yang memuaskan. Hasil buah – buahan kebun warga pun tidak ketinggalan dibeli oleh sang tamu. Warga Wae Rebo sangat berterima kasih kepada pelaku wisata yang memasarkan Wae Rebo, baik di dalam maupun di





Artikel Terkait: