Balai Poestaka, Poerwokerto 1938
• Tahun: 1938
• Lokasi: Purwokerto
• Judul asli: Kiosk van “Balai Poestaka” te Poerwokerto
• Terjemahan judul: Kios dari “Balai Poestaka” di Purwokerto
Perpustakaan di foto ini sangat ramai dikunjungi. Tampaknya membaca merupakan aktivitas kaum laki-laki pada jaman itu. Tidak ada seorang perempuan yang datang kesana. Papan iklan di atas loket berbunyi: AGENT “BALAI-POESTAKA” DISINI MENDJOEAL ROEPA2 KITAB KELOEARAN DRUKKERIJ TERSEBOET. Di sebelah kiri ada papan tulis sebagai daftar harga majalah dalam mata uang gulden (f): Pandji Poestaka Swoel[an] f 2, Kedjawan swoelan f 1, Paralijangan [f 1], dan Babad Djawi f 0,75. Di samping papan tulis berdiri seorang berbaju resmi berwarna putih. Tidak heran kalau dia adalah si pustakawan yang mengelola kios perpustakaan ini. Buku-buku dipajangkan di konter dan di lemari buku di dalam kios. Semua orang di foto ditempatkan dan diarahkan oleh fotografer. Selain orang dewasa terlihat juga empat anak muda di belakang konter sebagai pengunjung perpustakaan ini. Beberapa orang sedang membaca di depan kamera agar kita bisa mengerti bahwa Balai Poestaka ini diperuntukkan untuk apa: membaca.
Setelah pendirian sekolah rakyat di tahun 1907, banyak orang yang sudah bisa membaca tetapi buku-buku bacaan yang bagus masih tersedia sangat sedikit sekali. Beberapa penerbit komersil memasarkan buku-buku dan majalah-majalah yang jelek. Pemerintah ingin mendidik rakyat dengan buku-buku bacaan yang berkualitas, maka dari itu organisasi Balai Poestaka didirikan pada tahun 1917 oleh “Komisi untuk bacaan sekolah dan rakyat pribumi” yang dibentuk di tahun 1908 oleh Gubernur Jenderal Van Heutsz. Balai Poestaka merupakan organisasi pemerintahan yang mempunyai karyawan-karyawan yang terdiri dari ahli bahasa, redaksi, personil grafis dan komersil, dan selain itu memiliki percetakkan (drukkerij) dan bagian distribusi sendiri. Buku yang diterbitkan oleh Balai Poestaka antara lain cerita-cerita wayang klasik, syair, sastra barat yang diterjemahkan, sastra baru yang ditulis khusus untuk didistribusi disini, dan buku informatif tentang kerajinan, pertanian, kebersihan, kesehatan, etika, perdagangan, dan kesenian. Selain itu, beberapa majalah bergambar diterbitkan seminggu sekali atau dua kali. Buku-buku dan majalah-majalah tersebut diterbitkan dalam bahasa Melayu, bahasa Jawa, dan bahasa Sunda. Buku-buku dan majalah ini dijual atau dipinjamkan kepada rakyat dengan harga murah oleh perwakilan (agen) dari Balai Poestaka yang berada di banyak kota di seluruh nusantara. Pada tahun 1938 sudah terdapat 3000-an cabang yang menjual dan meminjamkan jutaan buku dan majalah.
Sejak beberapa abad perkembangan dari sastra pribumi terhenti. Untuk menghindari dari kepunahan sastra pribumi, Balai Poestaka menghidupkan sastra pribumi kembali dengan memunculkan aliran-aliran sastra baru dalam bahasa Melayu yang dipengaruhi oleh sastra barat. Novel-novel gaya baru banyak bertemakan masalah-masalah yang mengiringi jaman baru, contohnya pernikahan antaretnis dan jurang antargenerasi. Balai Poestaka mendukung penulis-penulis generasi muda yang berpotential. Pemerintahan kolonial memikirkan bagaimana memajukan rakyat pribumi dengan menyediakan bacaan-bacaan yang berkualitas. Beda dengan zaman sekarang. Banyak media meracuni masyarakat dan terutama anak-anak dengan bacaan-bacaan yang merusak peradaban. TV jauh lebih tidak bertanggung jawab terhadap sosial dan moral dibandingkan dengan penjajahan di jaman dulu. Namun, emansipasi wanita sudah lebih maju. Bersyukurlah bahwa di jaman sekarang membaca merupakan aktivitas yang bisa dinikmati oleh semua orang. Sebagian besar dari buku dan majalah diterbitkan untuk kaum perempuan, contohnya majalah gosip, majalah wanita dan sastra wangi. Pada umumnya kaum laki-laki lebih suka mengkonsumsi bacaan-bacaan informatif, contohnya buku non-fiksi dan koran.