Saat Khabbab lebih rela dipanggang di tengah gurun, dengan besi panas yang diletakkan di atas tubuhnya. Besi yang memerah itu bahkan menjadi padam oleh cairan tubuh Khabbab yang keluar sebagai nanah dari luka-luka bakar tersebut. Apa yang sedang dipertaruhkan Khabbab dengan nyawanya itu? Sebuah kalimat saja, Kawan. Laa ilaha illallah…
Telah sampaikah padamu tentang kisah Sumayyah? Ya, dialah yang kini kita kenang dengan hati takjub bercampur haru. Seorang muslimah pertama yang merengkuh syahidnya dengan berbagai macam siksaan yang pedih. Tidak berbeda dengan Khabbab, ia pun sedang memperjuangkan kalimat yang sama; Laa ilaha illallah…
Kita mungkin mudah saja berkata; Ah, itu khan cerita jaman dahulu, mereka keimanannya memang sangat tebal! Wajar saja mereka mampu bertahan!
Ya, saya pun kadang berpikir demikian. Namun, mendengarkan banyak hal yang terjadi pada dunia Islam kala ini, membuat saya sadar, hal yang sama sedang terjadi di masa kita. Di masa yang konon menjunjung tinggi kebebasan dan kemerdekaan ini. Di dunia yang katanya berperadaban dan damai bagi siapa saja ini.
Bumi yang indah permai itu adalah bumi yang sama dimana di salah satu belahannya telah terjadi peristiwa yang seharusnya menjadikan kita malu sebagai seorang manusia, jika tidak bergidik ngeri saat mengetahuinya.
Tersebutnya negeri Syams. Negeri dengan bentangan sayap malaikat. Demikian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menyebutnya dalam riwayat At Tirmidzi. Negeri ini telah melahirkan begitu banyak ulama besar yang kita kenang namanya hingga saat ini: Imam Nawawi, Syeikh ul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah dan Ibnu Katsir.
Salah satu bagian dari Negeri Syams kala itu, kini kita kenal dengan nama Suriah. Suriah, tempat saudara-saudara seaqidah kita, yang kita akui sebagai satu tubuh itu, kini sedang berusaha memperjuangkan apa yang dahulu Khabbab dan Sumayyah lakukan. Mempertahankan aqidah dan kalimat tauhid mereka. Mempertahankan Laa ilaha illallah di lisan, di hati, dan di setiap jengkal tubuhnya.
Kawan, jangan katakan bahwa belum sampai kabar ini padamu! Kabar tentang pemimpin dzalim yang kini tengah menyuruh saudara-saudara kita di sana untuk mengakui dirinya sebagai tuhan! Fir'aun berdasi itu menyuruh mereka untuk bersujud di atas fotonya. Menyuruh mereka untuk menanggalkan keimanannya! Lalu apa yang ditukarkan dengan keteguhan itu? Hantaman pada kepala dengan sepatu-sepatu tentaranya yang keras. Siksaan dengan sengatan listrik, bahkan sembelih di leher seorang bocah tepat di hadapan mata kepala kedua orang tuanya. Mereka bahkan menyerang masjid-masjid dan meneror dengan berbagai macam ketakutan. Lebih dari itu, ketakutan akan terancamnya aqidah.
Ah, mungkin bersamaan dengan siksaan yang saudara kita rasakan di sana, kita sedang menikmati kedamaian di negeri kita, mendengar sayup-sayup suara adzan dari menara, namun masih saja lengah dan menunda untuk menegakkan shalat. Mungkin, kala para bocah Suriah sedang menangis ketakutan, kita malah berleha-leha dengan segala santai dan membuang waktu yang kiranya lebih manfaat jika kita gunakan untuk ibadah. Hari ini, kita dapat dengan mudah mengucap syahadat, bahkan mungkin dengan aman bisa meneriakkannya. Namun, kita tentu bertanya; adakah kita bisa tetap melakukan hal yang sama, sekiranya seuntai kalimat itu harus kita tukarkan dengan nyawa?
Oh, Allah…Maafkan kami yang teramat sering lalai. Jangan Engkau cabut damai dari negeri kami. Teguhkan hati kami pada jalanMu yang haq. Lindungi saudara-saudara kami di Suriah, di Palestina, di Afganistan, dan di setiap jengkal bumiMu. Berikan pahala atas tiap tetes air mata, peluh, dan darah yang telah tertumpah untuk menegakkan kalimatMu. Syahidlah mereka.. syahidlah mereka… Allah, Engkaulah sebaik-baik pelindung, bagi kami yang lemah ini.